SATU Juli adalah hari anak-anak Indonesia.
Anak merupakan aset negara yang akan menentukan masa depan bangsa. Oleh
sebab itu, sudah seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kualitas
pendidikan bagi anak. Dengan pendidikan anak yang berkualitas,
diharapkan masa depan Indonesia akan menjadi lebih baik seiring
membaiknya pendidikan anak. Untuk mencapai harapan itu, dibutuhkan
keseriusan dari berbagai pihak, baik orangtua, guru, maupun pemerintah
agar tujuan tersebut dapat terpenuhi.
Jika mau menyelisik lebih dalam, maka akan ditemukan realitas pendidikan anak-anak Indonesia yang memprihatinkan. Masih banyak di antara mereka yang hingga saat ini belum tersentuh pendidikan yang sesuai dengan harapan bangsa. Ada beberapa hal yang membuat pendidikan di Indonesia semakin melenceng dari cita-cita bangsa. Pertama, kecenderungan pendidikan Indonesia yang semakin elitis dan tak terjangkau rakyat miskin. Dalam hal ini, pemerintah dituding membuat kebijakan yang diskriminatif sehingga menyulitkan rakyat kecil mengakses pendidikan. Kedua, lahirnya sistem pendidikan yang tidak memberdayakan. Dalam konteks ini, kebijakan yang dibentuk semata-mata untuk mendukung status quo dan memapankan kesenjangan sosial (Darmaningtyas, 2005, Pendidikan Rusak-Rusakan). Ketiga, kurangnya orientasi pendidikan terhadap pembangunan moral. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat realitas anak-anak yang bertindak amoral, sehingga sering dikatakan pendidikan minus budi pekerti.
Bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, anggaran pendidikan Indonesia termasuk dalam kategori tinggi. Namun, tetap saja masih banyak anak Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan yang layak. Tingginya biaya pendidikan di Indonesia membuat anak-anak dari kalangan rakyat menengah ke bawah tak mampu menjangkaunya. Kondisi anak-anak di perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan juga memaksa mereka bekerja demi mempertahankan hidup. Sehingga, sebagian besar dari mereka tak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Fakta yang tak jauh berbeda kita temukan pada masyarakat pedesaan. Karena faktor ekonomi yang tidak mendukung, anak-anak desa yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi harus mengubur dalam-dalam mimpi mereka.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, namun masih ada beberapa dari mereka yang belum mendapatkan hak tersebut. Hingga saat ini, peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan yang baik hanya anak orang kaya dan pintar. Dengan bermodalkan kemampuan ekonomi yang lebih dari cukup, didukung dengan kemampuan berpikir tinggi, menjadi faktor pendukung untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih baik. Mereka berpeluang besar memasuki sekolah-sekolah elit, berkualitas, berstandar nasional, bahkan internasional. Hal ini menciptakan lingkungan belajar-mengajar yang kondusif, karena ditunjang dengan kualitas anak didik yang punya daya pikir tinggi. Selain itu, tersedianya sarana prasarana yang lengkap membantu untuk mewujudkan pendidikan yang mapan.
Peluang kedua untuk memperoleh akses pendidikan yang baik dimiliki oleh mereka anak-anak miskin tapi pintar. Meskipun berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah, anak-anak dari kelompok ini masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan yang baik, meskipun kecil skalanya. Dengan keuletan berpikir dan tekad yang kuat, mereka pun berpeluang mendapatkan pendidikan layak. Tak sedikit dari mereka justru mempunyai mental yang kuat karena terbiasa hidup dalam kondisi ekonomi sulit. Hal ini menjadikan mereka lebih siap dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup yang tak selamanya berjalan mulus. Mereka boleh saja lahir dari keluarga “miskin”, namun mereka tak boleh menjadi seorang pemikir miskin. Dalam arti miskin ide dan pengetahuan.
Peluang selanjutnya yaitu anak-anak kaya tapi mempunyai daya pikir yang rendah. Mereka berkesempatan mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana mereka anak-anak yang pandai, entah dari keluarga mampu atau tak mampu. Rendahnya daya pikir yang dimaksudkan, mempunyai dua tafsiran. Pertama, rendahnya kemampuan berpikir yang disebabkan kerena adanya cacat secara fisik. Sebagai contoh, anak tunawicara yang lahir dari keluarga kaya. Mereka akan tetap mendapatkan hak mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Luar Biasa (SLB). Semua itu tentu tak terlepas dari kepedulian setiap orangtua; akan membiarkan si anak cacat tetap dalam kecacatannya, ataukah mempunyai kesadaran dan kepedulian untuk tetap memberikan hak pendidikan pada anak. Kedua, rendahnya kemampuan berpikir karena dimanjakan dengan ketersediaan yang serba instan. Kondisi ekonomi keluarga yang berada di atas batas cukup, membuat mereka lupa daratan yang pada akhirnya menjadikan anak-anak orang kaya ini sangat menikmati kemalasan. Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang cenderung diskriminatif, lalu bagaimana nasib anak-anak yang bodoh dan berasal dari golongan tidak mampu?
Anak-anak bodoh dan miskin mendapatkan peluang yang sempit, atau bahkan dapat dikatakan tertutup. Satu-satunya peluang yang masih terbuka bagi mereka adalah sekolah-sekolah yang mempunyai kualitas rendah yang secara fisik terletak di daerah pinggiran kota atau di desa terpencil. Jika terletak di pinggiran kota, sekolah tersebut berada di daerah pemukiman padat, kumuh, dan tak terawat, sehingga kegiatan belajar-mengajar pun tidak kondusif. Sedangkan yang berada di daerah pedesaan, sekolah tersebut jauh dari perhatian pemerintah, sarana dan prasarananya minim, disiplinnya rendah. Selain itu, biayanya relatif tinggi menurut ukuran mereka, karena penghasilan wali murid tidak seberapa untuk membayar biaya sekolah.
Tak hanya itu, masih ada anak-anak di desa terpencil yang sama sekali belum tersentuh pendidikan. Kondisi seperti ini justru akan semakin melestarikan ketidakadilan dalam pendidikan, merusak solidaritas sosial, dan menimbulkan kekecewaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pemerataan pendidikan, agar cita-cita bangsa dapat terwujud. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Khoirun Ni’mah
Peserta Pendidikan Tahfidz al-Qur’an
Peraih Beasiswa di Monash Institute Semarang
(//rfa)
Jika mau menyelisik lebih dalam, maka akan ditemukan realitas pendidikan anak-anak Indonesia yang memprihatinkan. Masih banyak di antara mereka yang hingga saat ini belum tersentuh pendidikan yang sesuai dengan harapan bangsa. Ada beberapa hal yang membuat pendidikan di Indonesia semakin melenceng dari cita-cita bangsa. Pertama, kecenderungan pendidikan Indonesia yang semakin elitis dan tak terjangkau rakyat miskin. Dalam hal ini, pemerintah dituding membuat kebijakan yang diskriminatif sehingga menyulitkan rakyat kecil mengakses pendidikan. Kedua, lahirnya sistem pendidikan yang tidak memberdayakan. Dalam konteks ini, kebijakan yang dibentuk semata-mata untuk mendukung status quo dan memapankan kesenjangan sosial (Darmaningtyas, 2005, Pendidikan Rusak-Rusakan). Ketiga, kurangnya orientasi pendidikan terhadap pembangunan moral. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat realitas anak-anak yang bertindak amoral, sehingga sering dikatakan pendidikan minus budi pekerti.
Bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, anggaran pendidikan Indonesia termasuk dalam kategori tinggi. Namun, tetap saja masih banyak anak Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan yang layak. Tingginya biaya pendidikan di Indonesia membuat anak-anak dari kalangan rakyat menengah ke bawah tak mampu menjangkaunya. Kondisi anak-anak di perkotaan yang hidup di bawah garis kemiskinan juga memaksa mereka bekerja demi mempertahankan hidup. Sehingga, sebagian besar dari mereka tak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Fakta yang tak jauh berbeda kita temukan pada masyarakat pedesaan. Karena faktor ekonomi yang tidak mendukung, anak-anak desa yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi harus mengubur dalam-dalam mimpi mereka.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara, namun masih ada beberapa dari mereka yang belum mendapatkan hak tersebut. Hingga saat ini, peluang terbesar untuk memperoleh akses pendidikan yang baik hanya anak orang kaya dan pintar. Dengan bermodalkan kemampuan ekonomi yang lebih dari cukup, didukung dengan kemampuan berpikir tinggi, menjadi faktor pendukung untuk memperoleh akses pendidikan yang lebih baik. Mereka berpeluang besar memasuki sekolah-sekolah elit, berkualitas, berstandar nasional, bahkan internasional. Hal ini menciptakan lingkungan belajar-mengajar yang kondusif, karena ditunjang dengan kualitas anak didik yang punya daya pikir tinggi. Selain itu, tersedianya sarana prasarana yang lengkap membantu untuk mewujudkan pendidikan yang mapan.
Peluang kedua untuk memperoleh akses pendidikan yang baik dimiliki oleh mereka anak-anak miskin tapi pintar. Meskipun berasal dari keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah, anak-anak dari kelompok ini masih mempunyai kesempatan untuk mendapatkan akses pendidikan yang baik, meskipun kecil skalanya. Dengan keuletan berpikir dan tekad yang kuat, mereka pun berpeluang mendapatkan pendidikan layak. Tak sedikit dari mereka justru mempunyai mental yang kuat karena terbiasa hidup dalam kondisi ekonomi sulit. Hal ini menjadikan mereka lebih siap dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup yang tak selamanya berjalan mulus. Mereka boleh saja lahir dari keluarga “miskin”, namun mereka tak boleh menjadi seorang pemikir miskin. Dalam arti miskin ide dan pengetahuan.
Peluang selanjutnya yaitu anak-anak kaya tapi mempunyai daya pikir yang rendah. Mereka berkesempatan mendapatkan pendidikan yang layak sebagaimana mereka anak-anak yang pandai, entah dari keluarga mampu atau tak mampu. Rendahnya daya pikir yang dimaksudkan, mempunyai dua tafsiran. Pertama, rendahnya kemampuan berpikir yang disebabkan kerena adanya cacat secara fisik. Sebagai contoh, anak tunawicara yang lahir dari keluarga kaya. Mereka akan tetap mendapatkan hak mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Luar Biasa (SLB). Semua itu tentu tak terlepas dari kepedulian setiap orangtua; akan membiarkan si anak cacat tetap dalam kecacatannya, ataukah mempunyai kesadaran dan kepedulian untuk tetap memberikan hak pendidikan pada anak. Kedua, rendahnya kemampuan berpikir karena dimanjakan dengan ketersediaan yang serba instan. Kondisi ekonomi keluarga yang berada di atas batas cukup, membuat mereka lupa daratan yang pada akhirnya menjadikan anak-anak orang kaya ini sangat menikmati kemalasan. Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang cenderung diskriminatif, lalu bagaimana nasib anak-anak yang bodoh dan berasal dari golongan tidak mampu?
Anak-anak bodoh dan miskin mendapatkan peluang yang sempit, atau bahkan dapat dikatakan tertutup. Satu-satunya peluang yang masih terbuka bagi mereka adalah sekolah-sekolah yang mempunyai kualitas rendah yang secara fisik terletak di daerah pinggiran kota atau di desa terpencil. Jika terletak di pinggiran kota, sekolah tersebut berada di daerah pemukiman padat, kumuh, dan tak terawat, sehingga kegiatan belajar-mengajar pun tidak kondusif. Sedangkan yang berada di daerah pedesaan, sekolah tersebut jauh dari perhatian pemerintah, sarana dan prasarananya minim, disiplinnya rendah. Selain itu, biayanya relatif tinggi menurut ukuran mereka, karena penghasilan wali murid tidak seberapa untuk membayar biaya sekolah.
Tak hanya itu, masih ada anak-anak di desa terpencil yang sama sekali belum tersentuh pendidikan. Kondisi seperti ini justru akan semakin melestarikan ketidakadilan dalam pendidikan, merusak solidaritas sosial, dan menimbulkan kekecewaan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pemerataan pendidikan, agar cita-cita bangsa dapat terwujud. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Khoirun Ni’mah
Peserta Pendidikan Tahfidz al-Qur’an
Peraih Beasiswa di Monash Institute Semarang
(//rfa)