BANYAK yang menyarankan, jika nanti kuliah, jangan lupa
untuk ikut berorganisasi. Kata banyak orang, IPK hanya mengantarkan
kita pada meja wawancara, tetapi nanti yang mengantarkan kita ke meja
direktur, ya, pengalaman dalam berinteraksi dengan orang. Memang,
pendapat seperti ini tidaklah salah, malah bisa dikatakan benar. Bahkan,
banyak juga pengalaman yang menyatakan kebenaran tersebut, salah
satunya yang dialami ayah penulis.
Nah, sekarang, yang menjadi duduk persoalan adalah bagaimana budaya kita
dalam mengatur organisasi mahasiswa tersebut ketika sudah kuliah dan
bergabung dalam sebuah organisasi. Banyak yang akan kita rasakan, mulai
dari hal yang biasa sampai yang luar biasa. Berterima kasihlah pada
bapak dan ibu dekan karena kita telah diizinkan untuk berorganisasi.
Terima kasih Pak, Bu.
Dalam kehidupannya, para mahasiswa aktivis kampus akan dihadapkan dengan banyak kegiatan dalam proses manajemen, dari planning, organizing, budgeting, controlling, hingga evaluating.
Dari sekian proses tersebut, para mahasiswa pun pasti akan dihadapkan
kepada proses membuat anggaran. Jangan bayangkan membuat anggaran
mahasiswa akan serumit dan sekonfrontatif pembuatan anggaran di ruang
badan anggaran DPR RI, sebuah ruang keramat bagi kelangsungan hidup
bangsa. Dijamin mahasiswa tidak akan dibuat terlalu pusing dan serumit
itu, karena semangatnya kan untuk belajar. Walau belajar, tapi pastinya
tetap harus menjaga nilai-nilai moral.
Mahasiswa dituntut untuk membuat anggaran sebaik mungkin demi
terwujudnya sebuah program kerja yang baik dan sukses. Mereka diminta
untuk memprediksi dan memperkirakan berapa uang yang akan dikucurkan
demi berlangsungnya sebuah program. Para kakak seniornya akan
mengajarkan bagaimana mereka untuk mendesain sebuah anggaran. Pertama,
tentang cara untuk menyesuaikan ide dengan dana, lalu yang penting
adalah bagaimana untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Di
sini, pasti jurus dari gunung sebelah barat akan mengajarkan yang sering
kita sebut sebagai dana “Mark-Up”.
Risk averse adalah sebuah sikap yang diajarkan juga di mata
kuliah manajemen, sikap ini diambil untuk menghindari risiko. Lalu, para
senior akan mengajarkan kepada juniornya untuk membuat dana “mark-up”
agar risiko yang tidak diharapkan bisa ditanggulangi dengan dana ini.
Terdapat semangat yang mulia di sini, untuk mengajarkan para aktivis
muda agar selalu berhati-hati. Tetapi, langkah ini akan menjadi
berbahaya jika dilakukan dengan salah.
Banyak kasus yang saya temukan, seperti melakukan mark-up
terlalu tinggi. Padahal, di manajemen kita diajarkan untuk melakukan
bujeting seefektif dan serealistis mungkin, karena kita memiliki
kendala, yakni dana. Hal ini bisa dikatakan sebagai siklus atau memang
hanya kesengajaan dari pihak tertentu dalam menentukan anggaran.
Bayangkan jika hal ini terus berlanjut sampai nanti seorang mahasiswa
beranjak dewasa dan menduduki jabatan-jabatan penting. Mungkin sampai
sekarang, kasus korupsi paling banyak adalah tentang pengadaan barang,
ada hubungannya mungkin dengan praktik ini. Tapi, tidak ada yang tahu,
bukan?
Sudah sewajarnya dan sepantasnyalah mahasiswa melakukan bujeting sesuai
dengan kebutuhan, daripada nanti banyak uang terbuang karena mark-up
berlebihan. Selain itu, sudah seharusnya semangat untuk efisiensi
anggaran kita budayakan. Terkait budaya efisiensi, barang siapa yang
bisa efisien, ya, cepat majunya. Toh, mahasiswa membuat acara bukan
untuk profit, tapi nilai apa yang harus ditanamkan pada acara-acara
mahasiswa.
Ardhi Hiang Sawak
Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB)
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Ketua Umum BEM FEB UGM
Minggu, 02 September 2012
Langganan:
Postingan (Atom)