Bagi orang tua, anak adalah penyejuk hati dan pelengkap jiwa yang
tidak dapat terbeli oleh apapun. Anak juga merupakan titipan Allah
subhanahu wa ta’ala yang wajib untuk dijaga,dibina dengan baik.
Maka Bersyukurlah bagi kita semua yang telah dipercayakan oleh Allah
untuk memiliki sang buah hati. Namun jangan lalai dengan anugrah
tersebut, karena pada akhirnya nanti, setiap kita pasti akan dimintai
pertanggungan jawab tentang semua kesenangan yang telah allah amanahkan
kepada kita.Hal ini sejalan dengan hadist sahih yang diriwayatkan Imam
Bukhari dari Ibnu Umar yang berkata: Aku mendengar
Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya dan seorang laki-laki adalah
pemimpin dalam keluarga dan akan dimintai tanggungjawab atas
kepemimpinannya, dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah
suaminya dan akan dimintai tanggungjawabnya serta pembantu adalah
penanggungjawab atas harta benda majikannya dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu, berkata “Didiklah anakmu karena
kamu akan ditanya tentang tanggungjawabmu, apakah sudah kamu ajari
anakmu, apakah sudah kamu didik anakmu dan kamu akan ditanya kebaikanmu
kepadanya dan ketaatan anakmu kepadamu.”
Sungguh islam adalah agama yang sempurna hingga pendidikan anakpun
diperhatikan dengan serius. Disana sangat ditekankan bahwa pertanggung
jawaban orang tua tentang pendidikan anak yang baik sesuai Al Qur’an dan
As sunnah adalah hal yang sangat luar biasa penting, agar mereka
terbekali dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akherat.
Salah satu hal yang penting dari cabang pendidikan untuk anak kita
adalah mengajarkan kepadanya tentang akhlak yang baik. sebagai contoh,
menyenangkan hati orang lain dan atau bahkan yang sesederhana sekalipun
yaitu memberikan wajah berseri saat bertemu dengan saudara muslim yang
lain.
Selain itu, hendaknya para orang tua, juga menekankan tentang
pembelajaran sederhana bagi anak untuk membentuk karakter yang baik,
lewat beberapa contoh teladan berikut ini.
1. Mengajarkan kejujuran.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Peganglah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada
kebaikan dan kebaikan menunjukan kepada surga. Seseorang selalu jujur
dan memelihara kejujuran hingga tercatat di sisi Allah termasuk orang
yang jujur. Dan hindarilah dusta karena kedustaan menunjukkan kepada
kejahatan dan kejahatan menunjukkan kepada neraka. Seseorang selalu
berdusta dan terbiasa berbuat dusta hingga tertulis di sisi Allah
sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim)
2. Mengajarkan Berbuat baik kepada lingkungan mereka.
Rasulullah saw bersumpah tiga kali dan menyatakan bahwa seseorang
tidaklah beriman manakala tetangganya tidak merasa aman darinya.
Sabdanya, ”Demi Allah, ia tidaklah beriman, demi Allah, ia tidaklah
beriman, demi Allah, ia tidaklah beriman. Para sahabat bertanya, “Siapa
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, Yaitu seseorang, di mana tetangganya
tidak mendapatkan keamanan darinya.” (HR Bukhari)
Dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima; menjawab salam,
menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangan dan
mendoakan orang yang bersin.” (Muttafaqun ‘alaihi)
3. Mengajarkan Amanah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ” Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya..” (Qs.
Annisa:58)
4. Mengajarkan Untuk Mengucapkan salam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman dan kalian tidak
beriman hingga kalian saling mencintai. Dan maukah kalian aku tunjukkan
kepada sesuatu jika kalian mengerjakannya maka kalian akan saling
mencintai? Tebarkan salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
5. Mengajarkan Tidak berboros kata.
Rasulullah saw bersabda, ”Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari)
6. Mengajarkan Tidak Memanggil dengan Julukan yang Dibenci.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ”…Dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar buruk.” (Al Hujurat: 11).
Akhlak yang baik, setelah bimbingan dan taufik Allah subhanahu
wata’ala, merupakan buah kesungguhan usaha anak- anak kita untuk melatih
diri mereka dengan berbagai sifat terpuji. Juga merupakan hasil dari
jihad yang mereka lakukan tanpa henti dan tak kenal lelah dalam
memerangi segala perangai, tabiat dan sifat buruk yang mungkin muncul
dalam diri mereka sendiri.
Pendidikan seperti inilah yang menjadi wasiat dan warisan yang baik,
bahkan saat nanti kita telah tiada sekalipun. Dan wasiat baik ini adalah
lebih dari sekedar harta atau perhiasan dunia.
(Syahidah/voa-islam.com)
Kamis, 09 Agustus 2012
Sabtu, 04 Agustus 2012
Mahasiswa Baru di Tengah Kepungan Apatisme
Memang belum ada data pasti mengenai seberapa besar angka atau persentase jumlah mahasiswa Indonesia yang menganggap organisasi sebagai hal yang tidak penting. Tetapi ini adalah fenomena nyata yang dapat diamati langsung di banyak perguruan tinggi. Data atau angka mahasiswa Indonesia yang apatis tidaklah sepenting upaya-upaya pemberantasan virus apatisme. Hal yang harus menjadi perhatian adalah mencari solusi untuk memecahkan masalah ini. Namun bukan berarti inisiatif untuk mengadakan survei terhadap jumlah mahasiswa yang punya sikap apatis terhadap organisasi di tiap-tiap kampus tidak penting. Untuk semakin menguatkan argumen, data pasti tentu dibutuhkan.
Pada beberapa mahasiswa baru, virus apatisme yang mengidap mereka bisa diamati dari tampak jelasnya sikap masa bodoh terhadap kegiatan-kegiatan positif, seperti ikut aktif dalam forum diskusi, mengurus komunitas belajar, atau ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Kegiatan para mahasiswa yang apatis terhadap aktivitas-aktivitas positif seperti ini pada hari-hari kuliah biasanya hanya “ku-pu-ku-pu” (kuliah-pulang-kuliah-pulang). Tidak ada inisiatif untuk aktif dalam kegiatan pengembangan diri melalui keterlibatan dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan minat dan bakat.
Ironisnya, sikap apatis mahasiswa baru sulit diberantas di tengah kepungan apatisme yang juga menjangkiti sebagian mahasiswa awal (senior). Virus apatisme akan semakin subur manakala dia memang sudah menjangkiti banyak mahasiswa sejak awal. Agar virus ini tidak menjangkiti mahasiswa dari tahun ke tahun, harus dicari obat mujarab untuk membasminya. Karena jika virus ini dibiarkan hidup semakin lama, niscaya akan semakin susah pula memberantasnya.
Dalam upaya memerangi sikap apatisme pada mahasiswa, peran senior mutlak perlu. Para senior dapat pula bekerjasama dengan mahasiswa baru yang memang tidak dijangkiti virus apatisme. Beberapa mahasiswa baru memang punya inisiatif untuk melibatkan diri di dalam organisasi tertentu. Pemahaman akan pentingnya berorganisasi harus ditanam pada setiap mahasiswa. Selain itu, harus pula dipaparkan manfaat yang bisa didapat dengan ikut aktif dalam aneka kegiatan organisasi.
Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi yang bergerak di bidang menulis, misalnya, bisa memeroleh banyak pengetahuan tentang cara menulis, baik itu misalnya opini bertema politik, puisi, cerpen atau novel. Kemampuan menulis yang dimiliki, akan memberi banyak manfaat bagi mahasiswa, baik saat masih di bangku kuliah maupun setelah lulus. Keterampilan menulis adalah salah satu modal berharga.
Dengan keterampilan menulis, seorang mahasiswa bisa mengikuti lomba menulis. Kalau berhasil menjadi juara, tentu itu prestasi yang membanggakan. Atau dalam hal lain, tulisan-tulisan tersebut bisa diterbitkan di berbagai media massa. Punya kemampuan menulis juga dapat mempermudah mahasiswa dalam menulis jurnal dan skripsi. Dan yang lebih penting lagi, ilmu menulis bisa sangat berguna setelah lulus kuliah.
Bekal kemampuan menulis yang baik menjadi nilai tawar yang tinggi ketika seorang mahasiswa punya cita-cita berkarir sebagai wartawan atau penulis buku. Dalam “memburu” beasiswa S-2 atau melamar kerja, publikasi tulisan di media massa, baik cetak ataupun elektronik, juga akan menjadi nilai tawar tersendiri. Begitu banyak manfaat yang bisa dipetik dari aktif terlibat dalam organisasi.
Kendati demikian, masih beredar sebuah asumsi keliru yang menyebabkan banyak mahasiswa enggan berkecimpung dalam dunia organisasi. Menurut beberapa mahasiswa, durasi kuliah idealnya adalah empat tahun. Mahasiswa yang lulus di atas empat tahun masa kuliah, disimpulkan sebagai mahasiswa yang telat lulus. Menurut beberapa mahasiswa yang menganut durasi ideal seperti ini, salah satu penyebab lamanya seorang mahasiswa telat lulus adalah karena aktif berorganisasi sehingga fokus utamanya bukan pada upaya menyelesaikan kuliah semata. Inti dari asumsi keliru ini, mahasiswa yang aktif berorganisasi tidak akan bisa lulus kuliah dalam waktu yang cepat.
Asumsi ini mudah sekali terbantahkan. Beberapa mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi justru dapat menyelesaikan kuliahnya dalam waktu yang cepat, sesuai targetnya. Justru beberapa mahasiswa yang apatis terhadap organisasi menghadapi sejumlah kendala dalam perkuliahan, misalnya kemampuan berinteraksinya yang kalah jauh dibandingkan dengan mereka yang aktif berorganisasi. Mahasiswa yang apatis terhadap organisasi juga tidak terbiasa membuat analisis sendiri yang tajam atas isu-isu tertentu yang tengah dikulitinya.
Lagi pula, mahasiswa yang aktif berorganisasi tetapi tidak bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu yang cepat, sudah punya kecakapan yang memadai untuk siap terjun dalam lingkungan sosial sebagai bentuk pengabdian mahasiswa. Artinya, walaupun tidak lulus cepat, setidaknya mahasiswa yang aktif dan serius berorganisasi punya kesiapan yang lebih baik dari mereka yang kegiatannya hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang.
Pemahaman ini wajib diberikan kepada senior. Tetapi peran tersebut hendaknya tidak dalam hal menggiring mahasiswa baru agar bergabung dalam organisasi tertentu. Upaya penggiringan mahasiswa baru oleh senior ke dalam organisasi tertentu kerap mengabaikan kebutuhan mahasiswa yang sebenarnya. Setiap mahasiswa, punya latar belakang, minat dan bakat yang berbeda. Dalam hal ini, senior harus berperan untuk memfasilitasi masing-masing mahasiswa yang punya perbedaan untuk bergabung dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan minat dan bakat.
Senior harus bisa mengidentifikasi “selera” setiap mahasiswa yang berbeda-beda. Jika ada mahasiswa yang punya bakat di bidang sepak bola, harusnya dia direkomendasikan untuk bergabung ke dalam organisasi yang fokus di bidang olahraga. Ini bukan menggiring, tetapi memberi gambaran dengan sedikit pengerahan. Ketika ada mahasiswa baru bergabung dengan organisasi yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, tentu dia tidak akan bisa menyalurkan potensinya yang tidak sesuai dengan arah gerak organisasi tersebut.
Ketika potensi itu tidak bisa disalurkan, hal ini tidak hanya akan merugikan mahasiswa yang bersangkutan, tetapi juga organisasi tersebut. Organisasi yang diisi oleh orang yang salah itu tidak akan bisa bergerak optimal. Misalnya, ada mahasiswa yang punya bakat di bidang seni, lebih khususnya misalnya bernyanyi, tetapi oleh senior yang punya kepentingan tertentu, mahasiswa tersebut lalu digiring oleh organisasi si senior yang justru bergerak di bidang otomotif. Setiap mahasiswa harus punya fokus.
Mahasiswa butuh ruang gerak yang selaras dengan gerakan yang ingin dilakukannya. Ketika ruang gerak yang dimasuki seorang mahasiswa ternyata kontradiktif dengan gerak pengembangan bakat yang ingin dilakukan, maka upaya optimal guna meraih tujuan berupa tersalurnya potensi yang dimiliki menjadi sulit – bahkan bisa saja nihil – akibat adanya ketersendatan saluran. Jadi, bentuk gerak – yang sesuai dengan keinginan – hanya akan bisa diwujudkan dalam ruang gerak yang punya kesesuaian serta mendukung gerak yang dilakukan tersebut. Put the right man in the right place.
Karena beragamnya minat dan bakat setiap mahasiswa, terkadang ada mahasiswa yang tidak punya wadah untuk menyalurkan minat dan bakatnya akibat ketiadaan organisasi yang sesuai dengan “selera” si mahasiswa. Ketiadaan organisasi mahasiswa yang mewadahi para inovator di bidang kuliner, misalnya, akan membuat mahasiswa-mahasiswa yang punya bakat di bidang tersebut menjadi “terlantar”.
Bakat ini tidak bisa tersalurkan dengan baik karena tidak ada organisasi yang bergerak di bidang tersebut. Untuk menghindari munculnya sikap apatis dari mahasiswa yang punya bakat tetapi tidak ada organisasi yang mewadahinya guna mengoptimalkan pengembangan bakatnya, di sinilah peran senior harus lebih aktif. Para senior, harus punya inisiatif dalam memfasilitasi mahasiswa yang “terlantar” tersebut untuk mendirikan ruang gerak baru. Dengan peran aktif ini, virus apatisme bisa diperangi.
Karena bentuk gerak semakin banyak, maka ruang gerak harus pula mengikuti setiap pertumbuhan bentuk gerak. Ruang gerak diciptakan untuk menyerap bentuk-bentuk gerak yang tidak terwadahi. Jika semua mahasiswa punya bakat yang saling berbeda, maka semua mahasiswa harus punya wadah organisasi untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Jika upaya ini semakin digeliatkan bersamaan dengan pertumbuhan rasa penting berorganisasi pada banyak mahasiswa, bukan tidak mungkin virus apatisme bisa masuk kubur.
Bisma Yadhi Putra
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik
Universitas Malikussaleh (Unimal)
dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara
(//rfa)
Kamis, 02 Agustus 2012
Perjokian dan Mc Donaldisasi Pendidikan
WAJAH dunia pendidikan tinggi kita kembali mendapat
tamparan keras. Peristiwa terungkapnya praktik perjokian dalam ujian
seleksi masuk perguruan tinggi kembali terjadi. Tidak tanggung-tanggung
kali ini terjadi di salah satu universitas terbaik di negeri ini,
Universitas Gadjah Mada (UGM). Peristiwa memalukan ini terjadi di saat
ujian seleksi masuk kelas internasional Fakultas Kedokteran UGM. Polres
Sleman yang menerima laporan dari panitia pelaksana berhasil meringkus
para peserta gadungan di tempat kejadian perkara. Lebih fantastisnya
lagi, praktik perjokian kali ini tidak hanya dilakukan oleh segelintir
oknum, namun diduga melibatkan 52 peserta ujian. Sejauh ini UGM
merespons “tragedi akademik” ini dengan membuat Tim Pencari Fakta (TPF)
Independen untuk membongkar pihak pihak yang terlibat dalam praktik
praktik manipulatif tersebut.
Tragedi yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi di atas mengguratkan ironi dalam sanubari kita. Praktik perjokian yang terjadi dalam seleksi masuk perguruan tinggi sungguh telah menciderai idealisme perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang harusnya menjadi tempat menyemai benih-benih sikap kecendikiawanan seperti kejujuran intelektual, integritas, keadilan dan kebenaran, justru sekarang menjadi tak lebih dari komoditas bernilai tinggi yang diperebutkan meskipun dengan cara-cara yang tidak beradab. Fenomena ini sesungguhnya membuka mata kita akan realitas bahwa pendidikan tinggi kita telah mengalami apa yang disebut sosiolog Amerika George Ritzer sebagai Mc Donaldisasi. Menurut Ritzer, Mc Donaldisasi mengisyaratkan bekerjanya prinsip-prinsip kapitalisme dalam sebuah institusi sosial. Dalam konteks ini, proses Mc Donaldisasi telah berjalan pada institusi pendidikan kita.
Mc Donaldisasi terdiri atas empat prinsip yang bekerja. Pertama, prinsip efisiensi dalam institusi pendidikan. Hal ini ditandai dengan mendorong program-program studi yang “laku” di pasaran untuk menghasilkan banyak pundi-pundi rupiah. Sementara, di sisi lain “membunuh” program-program studi yang dinilai kurang marketable di bursa pasar kerja. Prinsip yang kedua adalah keterprediksian. Prinsip ini berjalan dengan menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, pendidikan diarahkan untuk memenuhi kepentingan industri yang kapitalistik. Prinsip ketiga adalah kuantifikasi yang ditandai dengan mengukur segala proses pembelajaran akademik dengan angka-angka statistik, kenyataan sosial yang begitu kompleks direduksi menjadi sekadar angka-angka bisu. Keempat, Mc Donaldisasi pendidikan ditandai dengan berjalannya prinsip teknologisasi, proses pembelajaran dikontrol melalui teknologi high tech berbiaya tinggi.
Dari semua kriteria, dunia pendidikan tinggi kita nampaknya sudah “sempurna” mengalami Mc Donaldisasi. Pertama, prinsip efisiensi jelas sudah diterapkan di hampir semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Program program studi yang dianggap “laku” di pasaran akan difasilitasi sedemikian rupa sehingga mutunya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini nampak dari program studi seperti ekonomi, kedokteran, dan teknik yang menjadi “primadona” perguruan tinggi dalam menggaet calon mahasiswa. Kedua, prinsip keterprediksian, institusi pendidikan kita dalam banyak hal telah melakukan perubahan kurikulum demi tuntutan bursa pasar kerja. Kita mengenal apa yang disebut dengan paradigma “link and match” dalam pendidikan tinggi yang menyatakan bahwa dunia pendidikan haruslah terintegrasi dengan dunia pasar kerja. Dengan logika demikian, pendidikan telah disubordinasi menjadi sekadar “produsen” tenaga kerja siap pakai guna memenuhi kepentingan industri kapitalistik.
Ketiga, Nuansa Mc Donaldisasi pendidikan tinggi kita juga begitu terasa dari proses kuantifikasi yang semakin massif dilakukan di institusi pendidikan. Proses pembelajaran akademik yang dialektik kini dipinggirkan, diganti dengan proses kuantifikasi dalam bentuk angka-angka statistik. Indeks prestasi akademik menjadi “paramater utama” dalam mengukur kemampuan akademik mahasiswa, sedangkan kecerdasan sosial dan kematangan emosional tidak dianggap penting lagi. Terakhir, dunia pendidikan tinggi kita juga dijebak oleh teknologisasi, proses pembelajaran akademik menggunakan teknologi sebagai alat kontrol manusia. Hal ini nampak dalam kebijakan prasyarat absensi minimal 75 persen yang dikontrol melalui mesin pemindai jari (finger machine), teknologi yang awalnya tunduk pada manusia justru berbalik menguasai manusia.
Proses Mc Donaldisasi pendidikan tinggi pada hakikatnya akan menggiring kita pada komodifikasi pendidikan. Komodifikasi pada pendidikan mengubah nilai pendidikan yang sebenarnya adalah nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam nilai tukar, pendidikan berfungsi sebagai suatu proses untuk mendidik manusia menjadi suatu komoditas yang diperjual-belikan sehingga dapat menciptakan nilai lebih bagi pemilik mode of production (dalam hal ini lembaga pendidikan), sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang besar dari terselenggaranya pendidikan
Singkatnya, dalam proses komodifikasi, pendidikan semata-mata dijadikan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan dengan mudah, sehingga menjadi garis demarkasi yang memisahkan antara golongan ‘the have’ dengan golongan ‘the have not’. Pendidikan menjadi penanda kelas sosial seseorang.
Dalam konteks ini, praktik perjokian dalam dunia akademik sesungguhnya menggambarkan realitas komodifikasi pendidikan; pendidikan diperebutkan sedemikian rupa oleh para “pembeli-pembeli” berduit. Bangku-bangku kuliah di Fakultas Kedokteran UGM telah menjadi “komoditas” dengan harga selangit untuk dinikmati prestise dan prospek kerjanya. Puluhan peserta ujian masuk yang menggunakan jasa perjokian ini sesungguhnya sedang bertransaksi untuk “membeli” kursi-kursi pendidikan yang mereka impikan dan rela merogoh kocek dalam-dalam. Bahkan, mereka juga “nekat” menerabas nilai-nilai keadilan, kejujuran dan kebenaran demi impian-impian semu mereka. Komodifikasi ini lebih jauh mengakibatkan “stok pengetahuan” (stock of knowledge) dapat dengan mudah ditukar dengan materi. Lihatlah aksi sang joki yang rela melacurkan intelektualitasnya demi merengkuh iming-iming materi. Intelektualitas sebagai hasil proses pembelajaran yang mestinya diabdikan bagi kepentingan rakyat dan kemanusiaan, justru dalam arus Mc Donaldisasi pendidikan dengan mudah “digadaikan” demi secuil materi.
Mohammad Zaki Arrobi
Sosiolog Muda Universitas Gadjah Mada (UGM)
Tragedi yang terjadi dalam dunia pendidikan tinggi di atas mengguratkan ironi dalam sanubari kita. Praktik perjokian yang terjadi dalam seleksi masuk perguruan tinggi sungguh telah menciderai idealisme perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang harusnya menjadi tempat menyemai benih-benih sikap kecendikiawanan seperti kejujuran intelektual, integritas, keadilan dan kebenaran, justru sekarang menjadi tak lebih dari komoditas bernilai tinggi yang diperebutkan meskipun dengan cara-cara yang tidak beradab. Fenomena ini sesungguhnya membuka mata kita akan realitas bahwa pendidikan tinggi kita telah mengalami apa yang disebut sosiolog Amerika George Ritzer sebagai Mc Donaldisasi. Menurut Ritzer, Mc Donaldisasi mengisyaratkan bekerjanya prinsip-prinsip kapitalisme dalam sebuah institusi sosial. Dalam konteks ini, proses Mc Donaldisasi telah berjalan pada institusi pendidikan kita.
Mc Donaldisasi terdiri atas empat prinsip yang bekerja. Pertama, prinsip efisiensi dalam institusi pendidikan. Hal ini ditandai dengan mendorong program-program studi yang “laku” di pasaran untuk menghasilkan banyak pundi-pundi rupiah. Sementara, di sisi lain “membunuh” program-program studi yang dinilai kurang marketable di bursa pasar kerja. Prinsip yang kedua adalah keterprediksian. Prinsip ini berjalan dengan menyesuaikan kurikulum pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja, pendidikan diarahkan untuk memenuhi kepentingan industri yang kapitalistik. Prinsip ketiga adalah kuantifikasi yang ditandai dengan mengukur segala proses pembelajaran akademik dengan angka-angka statistik, kenyataan sosial yang begitu kompleks direduksi menjadi sekadar angka-angka bisu. Keempat, Mc Donaldisasi pendidikan ditandai dengan berjalannya prinsip teknologisasi, proses pembelajaran dikontrol melalui teknologi high tech berbiaya tinggi.
Dari semua kriteria, dunia pendidikan tinggi kita nampaknya sudah “sempurna” mengalami Mc Donaldisasi. Pertama, prinsip efisiensi jelas sudah diterapkan di hampir semua perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Program program studi yang dianggap “laku” di pasaran akan difasilitasi sedemikian rupa sehingga mutunya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini nampak dari program studi seperti ekonomi, kedokteran, dan teknik yang menjadi “primadona” perguruan tinggi dalam menggaet calon mahasiswa. Kedua, prinsip keterprediksian, institusi pendidikan kita dalam banyak hal telah melakukan perubahan kurikulum demi tuntutan bursa pasar kerja. Kita mengenal apa yang disebut dengan paradigma “link and match” dalam pendidikan tinggi yang menyatakan bahwa dunia pendidikan haruslah terintegrasi dengan dunia pasar kerja. Dengan logika demikian, pendidikan telah disubordinasi menjadi sekadar “produsen” tenaga kerja siap pakai guna memenuhi kepentingan industri kapitalistik.
Ketiga, Nuansa Mc Donaldisasi pendidikan tinggi kita juga begitu terasa dari proses kuantifikasi yang semakin massif dilakukan di institusi pendidikan. Proses pembelajaran akademik yang dialektik kini dipinggirkan, diganti dengan proses kuantifikasi dalam bentuk angka-angka statistik. Indeks prestasi akademik menjadi “paramater utama” dalam mengukur kemampuan akademik mahasiswa, sedangkan kecerdasan sosial dan kematangan emosional tidak dianggap penting lagi. Terakhir, dunia pendidikan tinggi kita juga dijebak oleh teknologisasi, proses pembelajaran akademik menggunakan teknologi sebagai alat kontrol manusia. Hal ini nampak dalam kebijakan prasyarat absensi minimal 75 persen yang dikontrol melalui mesin pemindai jari (finger machine), teknologi yang awalnya tunduk pada manusia justru berbalik menguasai manusia.
Proses Mc Donaldisasi pendidikan tinggi pada hakikatnya akan menggiring kita pada komodifikasi pendidikan. Komodifikasi pada pendidikan mengubah nilai pendidikan yang sebenarnya adalah nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam nilai tukar, pendidikan berfungsi sebagai suatu proses untuk mendidik manusia menjadi suatu komoditas yang diperjual-belikan sehingga dapat menciptakan nilai lebih bagi pemilik mode of production (dalam hal ini lembaga pendidikan), sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang besar dari terselenggaranya pendidikan
Singkatnya, dalam proses komodifikasi, pendidikan semata-mata dijadikan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan dengan mudah, sehingga menjadi garis demarkasi yang memisahkan antara golongan ‘the have’ dengan golongan ‘the have not’. Pendidikan menjadi penanda kelas sosial seseorang.
Dalam konteks ini, praktik perjokian dalam dunia akademik sesungguhnya menggambarkan realitas komodifikasi pendidikan; pendidikan diperebutkan sedemikian rupa oleh para “pembeli-pembeli” berduit. Bangku-bangku kuliah di Fakultas Kedokteran UGM telah menjadi “komoditas” dengan harga selangit untuk dinikmati prestise dan prospek kerjanya. Puluhan peserta ujian masuk yang menggunakan jasa perjokian ini sesungguhnya sedang bertransaksi untuk “membeli” kursi-kursi pendidikan yang mereka impikan dan rela merogoh kocek dalam-dalam. Bahkan, mereka juga “nekat” menerabas nilai-nilai keadilan, kejujuran dan kebenaran demi impian-impian semu mereka. Komodifikasi ini lebih jauh mengakibatkan “stok pengetahuan” (stock of knowledge) dapat dengan mudah ditukar dengan materi. Lihatlah aksi sang joki yang rela melacurkan intelektualitasnya demi merengkuh iming-iming materi. Intelektualitas sebagai hasil proses pembelajaran yang mestinya diabdikan bagi kepentingan rakyat dan kemanusiaan, justru dalam arus Mc Donaldisasi pendidikan dengan mudah “digadaikan” demi secuil materi.
Mohammad Zaki Arrobi
Sosiolog Muda Universitas Gadjah Mada (UGM)
Sumber : http://kampus.okezone.com/read/2012/07/31/95/671038/perjokian-dan-mc-donaldisasi-pendidikan
Langganan:
Postingan (Atom)