Sabtu, 04 Agustus 2012

Mahasiswa Baru di Tengah Kepungan Apatisme





SALAH satu “penyakit” yang melekat pada kebanyakan mahasiswa baru adalah sikap apatis mereka terhadap pentingnya berorganisasi. Di samping itu, sikap acuh tak acuh mahasiswa baru terhadap berbagai isu yang berkembang, baik yang muncul di dalam kampus maupun lingkungan sosial yang lebih luas, merupakan sebuah krisis yang jika tidak dibasmi bakal menjadi budaya yang akan semakin menguat dari tahun ke tahun. Ini permasalahan yang mutlak harus dicari pemecahannya.
Memang belum ada data pasti mengenai seberapa besar angka atau persentase jumlah mahasiswa Indonesia yang menganggap organisasi sebagai hal yang tidak penting. Tetapi ini adalah fenomena nyata yang dapat diamati langsung di banyak perguruan tinggi. Data atau angka mahasiswa Indonesia yang apatis tidaklah sepenting upaya-upaya pemberantasan virus apatisme. Hal yang harus menjadi perhatian adalah mencari solusi untuk memecahkan masalah ini. Namun bukan berarti inisiatif untuk mengadakan survei terhadap jumlah mahasiswa yang punya sikap apatis terhadap organisasi di tiap-tiap kampus tidak penting. Untuk semakin menguatkan argumen, data pasti tentu dibutuhkan.

Pada beberapa mahasiswa baru, virus apatisme yang mengidap mereka bisa diamati dari tampak jelasnya sikap masa bodoh terhadap kegiatan-kegiatan positif, seperti ikut aktif dalam forum diskusi, mengurus komunitas belajar, atau ikut berpartisipasi dalam aksi demonstrasi. Kegiatan para mahasiswa yang apatis terhadap aktivitas-aktivitas positif seperti ini pada hari-hari kuliah biasanya hanya “ku-pu-ku-pu” (kuliah-pulang-kuliah-pulang). Tidak ada inisiatif untuk aktif dalam kegiatan pengembangan diri melalui keterlibatan dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan minat dan bakat.

Ironisnya, sikap apatis mahasiswa baru sulit diberantas di tengah kepungan apatisme yang juga menjangkiti sebagian mahasiswa awal (senior). Virus apatisme akan semakin subur manakala dia memang sudah menjangkiti banyak mahasiswa sejak awal. Agar virus ini tidak menjangkiti mahasiswa dari tahun ke tahun, harus dicari obat mujarab untuk membasminya. Karena jika virus ini dibiarkan hidup semakin lama, niscaya akan semakin susah pula memberantasnya.

Dalam upaya memerangi sikap apatisme pada mahasiswa, peran senior mutlak perlu. Para senior dapat pula bekerjasama dengan mahasiswa baru yang memang tidak dijangkiti virus apatisme. Beberapa mahasiswa baru memang punya inisiatif untuk melibatkan diri di dalam organisasi tertentu. Pemahaman akan pentingnya berorganisasi harus ditanam pada setiap mahasiswa. Selain itu, harus pula dipaparkan manfaat yang bisa didapat dengan ikut aktif dalam aneka kegiatan organisasi.

Mahasiswa yang tergabung dalam organisasi yang bergerak di bidang menulis, misalnya, bisa memeroleh banyak pengetahuan tentang cara menulis, baik itu misalnya opini bertema politik, puisi, cerpen atau novel. Kemampuan menulis yang dimiliki, akan memberi banyak manfaat bagi mahasiswa, baik saat masih di bangku kuliah maupun setelah lulus. Keterampilan menulis adalah salah satu modal berharga.

Dengan keterampilan menulis, seorang mahasiswa bisa mengikuti lomba menulis. Kalau berhasil menjadi juara, tentu itu prestasi yang membanggakan. Atau dalam hal lain, tulisan-tulisan tersebut bisa diterbitkan di berbagai media massa. Punya kemampuan menulis juga dapat mempermudah mahasiswa dalam menulis jurnal dan skripsi. Dan yang lebih penting lagi, ilmu menulis bisa sangat berguna setelah lulus kuliah.

Bekal kemampuan menulis yang baik menjadi nilai tawar yang tinggi ketika seorang mahasiswa punya cita-cita berkarir sebagai wartawan atau penulis buku. Dalam “memburu” beasiswa S-2 atau melamar kerja, publikasi tulisan di media massa, baik cetak ataupun elektronik, juga akan menjadi nilai tawar tersendiri. Begitu banyak manfaat yang bisa dipetik dari aktif terlibat dalam organisasi.

Kendati demikian, masih beredar sebuah asumsi keliru yang menyebabkan banyak mahasiswa enggan berkecimpung dalam dunia organisasi. Menurut beberapa mahasiswa, durasi kuliah idealnya adalah empat tahun. Mahasiswa yang lulus di atas empat tahun masa kuliah, disimpulkan sebagai mahasiswa yang telat lulus. Menurut beberapa mahasiswa yang menganut durasi ideal seperti ini, salah satu penyebab lamanya seorang mahasiswa telat lulus adalah karena aktif  berorganisasi sehingga fokus utamanya bukan pada upaya menyelesaikan kuliah semata. Inti dari asumsi keliru ini, mahasiswa yang aktif berorganisasi tidak akan bisa lulus kuliah dalam waktu yang cepat.

Asumsi ini mudah sekali terbantahkan. Beberapa mahasiswa yang aktif dalam berorganisasi justru dapat menyelesaikan kuliahnya dalam waktu yang cepat, sesuai targetnya. Justru beberapa mahasiswa yang apatis terhadap organisasi menghadapi sejumlah kendala dalam perkuliahan, misalnya kemampuan berinteraksinya yang kalah jauh dibandingkan dengan mereka yang aktif berorganisasi. Mahasiswa yang apatis terhadap organisasi juga tidak terbiasa membuat analisis sendiri yang tajam atas isu-isu tertentu yang tengah dikulitinya.

Lagi pula, mahasiswa yang aktif berorganisasi tetapi tidak bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu yang cepat, sudah punya kecakapan yang memadai untuk siap terjun dalam lingkungan sosial sebagai bentuk pengabdian mahasiswa. Artinya, walaupun tidak lulus cepat, setidaknya mahasiswa yang aktif dan serius berorganisasi punya kesiapan yang lebih baik dari mereka yang kegiatannya hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang.

Pemahaman ini wajib diberikan kepada senior. Tetapi peran tersebut hendaknya tidak dalam hal menggiring mahasiswa baru agar bergabung dalam organisasi tertentu. Upaya penggiringan mahasiswa baru oleh senior ke dalam organisasi tertentu kerap mengabaikan kebutuhan mahasiswa yang sebenarnya. Setiap mahasiswa, punya latar belakang, minat dan bakat yang berbeda. Dalam hal ini, senior harus berperan untuk memfasilitasi masing-masing mahasiswa yang punya perbedaan untuk bergabung dalam organisasi tertentu yang sesuai dengan minat dan bakat.

Senior harus bisa mengidentifikasi “selera” setiap mahasiswa yang berbeda-beda. Jika ada mahasiswa yang punya bakat di bidang sepak bola, harusnya dia direkomendasikan untuk bergabung ke dalam organisasi yang fokus di bidang olahraga. Ini bukan menggiring, tetapi memberi gambaran dengan sedikit pengerahan. Ketika ada mahasiswa baru bergabung dengan organisasi yang tidak sesuai dengan minat dan bakatnya, tentu dia tidak akan bisa menyalurkan potensinya yang tidak sesuai dengan arah gerak organisasi tersebut.

Ketika potensi itu tidak bisa disalurkan, hal ini tidak hanya akan merugikan mahasiswa yang bersangkutan, tetapi juga organisasi tersebut. Organisasi yang diisi oleh orang yang salah itu tidak akan bisa bergerak optimal.  Misalnya, ada mahasiswa yang punya bakat di bidang seni, lebih khususnya misalnya bernyanyi, tetapi oleh senior yang punya kepentingan tertentu, mahasiswa tersebut lalu digiring oleh organisasi si senior yang justru bergerak di bidang otomotif. Setiap mahasiswa harus punya fokus.

Mahasiswa butuh ruang gerak yang selaras dengan gerakan yang ingin dilakukannya. Ketika ruang gerak yang dimasuki seorang mahasiswa ternyata kontradiktif dengan gerak pengembangan bakat yang ingin dilakukan, maka upaya optimal guna meraih tujuan berupa tersalurnya potensi yang dimiliki menjadi sulit – bahkan bisa saja nihil – akibat adanya ketersendatan saluran. Jadi, bentuk gerak – yang sesuai dengan keinginan – hanya akan bisa diwujudkan dalam ruang gerak yang punya kesesuaian serta mendukung gerak yang dilakukan tersebut. Put the right man in the right place.

Karena beragamnya minat dan bakat setiap mahasiswa, terkadang ada mahasiswa yang tidak punya wadah untuk menyalurkan minat dan bakatnya akibat ketiadaan organisasi yang sesuai dengan “selera” si mahasiswa. Ketiadaan organisasi mahasiswa yang mewadahi para inovator di bidang kuliner, misalnya, akan membuat mahasiswa-mahasiswa yang punya bakat di bidang tersebut menjadi “terlantar”.

Bakat ini tidak bisa tersalurkan dengan baik karena tidak ada organisasi yang bergerak di bidang tersebut. Untuk menghindari munculnya sikap apatis dari mahasiswa yang punya bakat tetapi tidak ada organisasi yang mewadahinya guna mengoptimalkan pengembangan bakatnya, di sinilah peran senior harus lebih aktif. Para senior, harus punya inisiatif dalam memfasilitasi mahasiswa yang “terlantar” tersebut untuk mendirikan ruang gerak baru. Dengan peran aktif ini, virus apatisme bisa diperangi.

Karena bentuk gerak semakin banyak, maka ruang gerak harus pula mengikuti setiap pertumbuhan bentuk gerak. Ruang gerak diciptakan untuk menyerap bentuk-bentuk gerak yang tidak terwadahi. Jika semua mahasiswa punya bakat yang saling berbeda, maka semua mahasiswa harus punya wadah organisasi untuk menyalurkan minat dan bakatnya. Jika upaya ini semakin digeliatkan bersamaan dengan pertumbuhan rasa penting berorganisasi pada banyak mahasiswa, bukan tidak mungkin virus apatisme bisa masuk kubur.

Bisma Yadhi Putra
Mahasiswa Prodi Ilmu Politik
Universitas Malikussaleh (Unimal)
dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara
(//rfa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2012. SAMBO KRITIS| Kembali ke Atas