Peristiwa delapan puluh tiga tahun silam itu juga menjadi bukti otentik
perjuangan panjang pemuda Indonesia, suatu kebulatan tekad untuk
mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia dan menjadi
komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai
kemerdekaan saat itu.
Panjang lebar Moehammad Yamin menuliskan Rumusan Sumpah yang kemudian
dibacakan pertama kali oleh Soegondo. Setidaknya, Heroisme Sumpah Pemuda
delapan puluh tiga tahun silam itu dijadikan spirit bagi generasi muda
sekarang dalam membangun negeri ini menuju negara yang besar dan
disegani.
Memang harus kita sadari, setiap generasi memiliki persoalan dan
tantangan berbeda. Musuh utama bangsa pada zaman itu adalah penjajah.
Semangat heroisme mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan, menjadi
pekik yang tak terhenti disuarakan bahkan tertuliskan di tembok-tembok.
Kini zaman sudah berbalik, tantangan kini berbeda dan lebih sulit yakni
mempertahankan apa yang telah diperjuangkan pemuda pemudi Indonesia
delapan puluh tiga tahun silam yakni satu tanah air, satu bangsa dan
satu bahasa.
Semangat Sumpah Pemuda harus menjadi inspirasi bangsa untuk terus
bangkit, meraih kejayaan seperti yang pernah terukir di persada
nusantara ini. Tantangan sekarang memang lebih beragam wujud dan
coraknya, termasuk berbeda kuantitas dan kualitasnya. Korupsi,
kemiskinan dan keterbelakangan merupakan deretan persoalan bangsa yang
tak berujung.
Bangsa ini juga mengalami problem ketidakpercayaan diri, sebuah bangsa
tanpa kepercayaan diri tentu tidak menghasilkan produk-produk unggul.
Keunggulan hanya diraih, jika suatu bangsa memiliki kebanggaan terhadap
bangsa dan negerinya sendiri.
Pandangan sinis terhadap negara, tentu merendahkan derajat dan martabat
Indonesia dalam pergaulan antar bangsa. Inferioritas Indonesia dewasa
ini menuntut kehadiran pemuda-pemuda yang cepat, tanggap dan trengginas.
Pemuda yang tidak terhipnotis euforia politik yang penuh dengan cerita
heroisme jalanan. Bangsa ini sesungguhnya membutuhkan semangat pemuda
yang memberikan konstribusi moral, kultural dan intelektual yang
diwujudkan dalam program konstruktif.
Heroisme Sumpah Pemuda tidak sebatas koreksi bagi bangsa, tetapi sebagai
penyadaran posisi jati diri bangsa secara kultural dalam persepsi
kewilayahan tanah dan air Indonesia. Dari kekuatan kesadaran sebagai
penghuni negara kepulauan, akan lahir ketajaman visi dan strategi yang
cerdas kreatif sesuai amanah Sumpah Pemuda: satu tanah air, satu bangsa
dan satu bahasa yang bernama Indonesia.
Definisi Pemuda
Berbagai definisi pernah mengemuka dan tercatat apik tentang pemuda,
ditinjau dari segi fisik dan psikis, pemuda sering dikaitkan dengan usia
produktif atau semangat yang menggelora.
Princeton mendefinisikan kata pemuda (youth) dalam kamus Webstersnya:
“The time of life between childhood and maturity, early maturity. The
state of being young or immature or inexperienced, the freshness and
vitality characteristic of a young person”. World Health Organization
(WHO) menggolongkan usia 10-24 tahun sebagai young people, remaja
(adolescence) berusia 10-19 tahun. Di Kanada justru menerapkan: “After
age 24, youth are no longer eligible for adolescent social services”.
Dalam bahasa Al-Qur’an pemuda diterjemahkan dalam konteks sifat dan
sikap. Pemuda dinilai memiliki standar moralitas (iman), berwawasan,
optimis dan teguh dalam pendirian serta konsisten dalam perkataan. Kisah
Ash-habul Kahfi, disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai pemuda-pemuda yang
optimis, teguh dalam pendirian dan konsisten dalam perkataan
(QS.Al-Kahfi:13-14). Pemuda juga digambarkan sebagai sosok yang tidak
kenal putus asa, pantang menyerah apalagi mundur sebelum mencapai
cita-cita seperti diperankan pemuda (Nabi) Musa kepada muridnya
(QS.Al-Kahfi:60).
Pemuda Lupa Amanah
Kalau kita kembali mengingat secara garis besar amanah Sumpah Pemuda,
satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang bernama Indonesia,
tentu sudah terjadi kepunahan. Lahirnya kelompok-kelompok massa
kepemudaan berbasis suku, justru menjadi pemicu perpecahan.
Tak jarang kita mendengar perang antar suku, bentrokan antar ormas yang
pemicunya hanyalah perebutan daerah kekuasaan atau hal-hal yang dianggap
sepele lainnya. Belum lagi bentrokan antar pelajar yang dari hari
kehari terus menghiasi pemberitaan media. Sampai hal yang paling
memalukan, bentrokan antar mahasiswa.
Sungguh ironis, ironis dikala mengingat sejarah yang ada delapan puluh
tiga tahun silam. Pemuda dari berbagai suku dan etnis bersatu melawan
penjajah demi mencapai kemerdekaan Indonesia. Para pemuda turun ke medan
perang melawan penjajahan, baik dengan pemikiran mau pun dengan
mengorbankan darahnya.
Dengan bergesernya perubahan masa dan waktu, lalu apa yang harus diperjuangan pemuda saat ini hingga dunia hancur punah?
Pemuda harus mempertahankan tanah air dan bangsa. Tak hanya
mempertahankan dalam arti menjaga kedaulatan NKRI dengan tenaga dan
darah melalui peperangan antar Negara, tetapi bersatu, berangkulan,
bersama-sama meningkatkan perekonomian dan pendidikan, menjaga marwah
bangsa juga termasuk dalam mempertahankan tanah air dan bangsa.
Betul bila dikatakan masih banyak kemiskinan di Indonesia, tapi apakah
pemuda Indonesia harus ikutan merengek-rengek atas kemiskinan?
Tentu tidak, sebahagian pemuda Indonesia justru berperang melawan kemiskinan dan keterpurukan dunia pendidikan.
Sebagai contoh, 6 mahasiswa Universitas Indonesia yang kreatif coba
mendirikan suatu yayasan yang diberi nama Nalacity Foundation. Enam
mahasiswa yg terdiri Fiza, Yofita, Alfi Syah, Ari dan Fahry ini tergerak
membantu para mantan penderita kusta. Para mantan penderita kusta,
warga desa Tangerang, Banten itu dibantu dan diberdayakan dalam membuat
dan memasarkan hasil karya mereka yg berupa jilbab atau kerudung buat
wanita muslim. Hingga kini karya para wanita penderita kusta itu sudah
merambah hampir di seluruh wilayah indonesia karena dipasarkan melalui
sistem online oleh Nalacity Foundation.
Kemudian ada lagi, mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta yang
tergabung dalam gerakan Kammi Mengajar. Mereka mengajar dan memberi
pendampingan kepada warga korban letusan gunung merapi cara mengolah dan
memasarkan ikan lele dengan mengolahnya menjadi nuget lele, kripik lele
dan abon lele. Dengan demikian para warga korban letusan gunung Merapi
itu mendapatkan nilai lebih dari sekedra menjual ikan lele mentah.
Lalu ada juga pasangan muda Wahyu Aditya dan Arie Octaviani, pasangan
suami istri ini benar-benar kreatif dan produktif. Mereka menggagas dan
mendirikan Distro KDRI alias Kementrian Desain Republik Indonesia. KDRI
ini membuat dan mengumpulkan hasil desain anak-anak muda Indonesia
mengenai nasionalisme. Hasil karya itu bisa berupa kaos yg unik, komik
dan animasi. Hingga kini KDRI menurut Adit, telah memiliki ribuan fans
dan followers di seluruh dunia.
Dibidang pendidikan ada Eymus H Tabuni (26), sejak 4 tahun lalu ia
memutuskan untuk memberikan pelatihan membaca dan menulis bagi warga
kampung Milinik, Kelurahan Inikombe, Distrik Sentani, Kabupaten
Jayapura, Papua. Eymus hanya menerima honor Rp 300 ribu dan beras 25
kilogram setiap 6 bulan. Keputusannya ini didasari keprihatinan
tingginya angka buta aksara di wilayah itu. Pusat Kegiatan Belajar
Mengajar (PKBM) Budi Bakti, menjadi tempat Eymus mengabdi.
Eymus, lulusan Teknik Pertambangan Universitas Sains dan Teknologi
Jayapura (USTJ), menjadi tutor mengajar Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), paket A, B, dan C sejak PKBM tersebut baru berdiri. Mereka yang
belajar di tempat sederhana ini terdiri dari anak-anak, dewasa, bahkan
orang tua. Ada yang putus sekolah, ada pula yang belum pernah mengecap
bangku sekolah.
Saat ini, peserta didik di PKBM Budi Bakti hampir mencapai 100 orang dan
didominasi oleh para wanita yang berasal dari berbagai desa.
Eymus berharap, apa yang ia lakukan saat ini kelak berbuah manis.
Harapannya sederhana: membuat warga di kampungnya lebih berwawasan, atau
paling tidak menguasai baca tulis dan berhitung.
“Saya berharap kampung ini melek huruf, dan lima tahun ke depan mempunyai perubahan,” kata Eymus.
Kisah-kisah diatas hanya beberapa contoh dari apa yang telah dilakukan
pemuda pemudi Indonesia dalam mempertahankan tanah air dan bangsanya.
Bila pemuda Indonesia bersatu dan bersama-sama melakukan kreatifitas dan
mengembangkannya, sudah barang tentu lambat laun kemiskinan di Negara
kita akan terkikis tanpa mengharapkan uluran tangan.
Sumpah pemuda kini seharusnya,
Pertama, Kami Putra dan
Putri Indonesia, mengaku bersatu untuk mengembangkan perekonomian dengan
kreatifitas dan mencintai produksi anak bangsa Indonesia.
Kedua, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang bersatu mengembangkan pendidikan anak bangsa Indoneisa.
Ketiga, Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung tinggi persaudaraan sesama bangsa untuk kemajuan Indonesia.
Keempat,
Kami Putra dan Putri Indonesia, berjanji tidak akan merengek-rengek
atas kemiskinan untuk mendapatkan sesuatu yang instan demi marwah dan
martabat bangsa Indonesia.
***
Sumber : kompasiana.com