Minggu, 28 Oktober 2012

Memaknai Sumpah Pemuda, Bukan Sumpah Serapah

Peristiwa delapan puluh tiga tahun silam itu juga menjadi bukti otentik perjuangan panjang pemuda Indonesia, suatu kebulatan tekad untuk mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia dan menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaan saat itu.
Panjang lebar Moehammad Yamin menuliskan Rumusan Sumpah yang kemudian dibacakan pertama kali oleh Soegondo. Setidaknya, Heroisme Sumpah Pemuda delapan puluh tiga tahun silam itu dijadikan spirit bagi generasi muda sekarang dalam membangun negeri ini menuju negara yang besar dan disegani.
Memang harus kita sadari, setiap generasi memiliki persoalan dan tantangan berbeda. Musuh utama bangsa pada zaman itu adalah penjajah. Semangat heroisme mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan, menjadi pekik yang tak terhenti disuarakan bahkan tertuliskan di tembok-tembok.
Kini zaman sudah berbalik, tantangan kini berbeda dan lebih sulit yakni mempertahankan apa yang telah diperjuangkan pemuda pemudi Indonesia delapan puluh tiga tahun silam yakni satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
Semangat Sumpah Pemuda harus menjadi inspirasi bangsa untuk terus bangkit, meraih kejayaan seperti yang pernah terukir di persada nusantara ini. Tantangan sekarang memang lebih beragam wujud dan coraknya, termasuk berbeda kuantitas dan kualitasnya. Korupsi, kemiskinan dan keterbelakangan merupakan deretan persoalan bangsa yang tak berujung.
Bangsa ini juga mengalami problem ketidakpercayaan diri, sebuah bangsa tanpa kepercayaan diri tentu tidak menghasilkan produk-produk unggul. Keunggulan hanya diraih, jika suatu bangsa memiliki kebanggaan terhadap bangsa dan negerinya sendiri.
Pandangan sinis terhadap negara, tentu merendahkan derajat dan martabat Indonesia dalam pergaulan antar bangsa. Inferioritas Indonesia dewasa ini menuntut kehadiran pemuda-pemuda yang cepat, tanggap dan trengginas. Pemuda yang tidak terhipnotis euforia politik yang penuh dengan cerita heroisme jalanan. Bangsa ini sesungguhnya membutuhkan semangat pemuda yang memberikan konstribusi moral, kultural dan intelektual yang diwujudkan dalam program konstruktif.
Heroisme Sumpah Pemuda tidak sebatas koreksi bagi bangsa, tetapi sebagai penyadaran posisi jati diri bangsa secara kultural dalam persepsi kewilayahan tanah dan air Indonesia. Dari kekuatan kesadaran sebagai penghuni negara kepulauan, akan lahir ketajaman visi dan strategi yang cerdas kreatif sesuai amanah Sumpah Pemuda: satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang bernama Indonesia.
Definisi Pemuda
Berbagai definisi pernah mengemuka dan tercatat apik tentang pemuda, ditinjau dari segi fisik dan psikis, pemuda sering dikaitkan dengan usia produktif atau semangat yang menggelora.
Princeton mendefinisikan kata pemuda (youth) dalam kamus Webstersnya: “The time of life between childhood and maturity, early maturity. The state of being young or immature or inexperienced, the freshness and vitality characteristic of a young person”. World Health Organization (WHO) menggolongkan usia 10-24 tahun sebagai young people, remaja (adolescence) berusia 10-19 tahun. Di Kanada justru menerapkan: “After age 24, youth are no longer eligible for adolescent social services”.
Dalam bahasa Al-Qur’an pemuda diterjemahkan dalam konteks sifat dan sikap. Pemuda dinilai memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, optimis dan teguh dalam pendirian serta konsisten dalam perkataan. Kisah Ash-habul Kahfi, disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai pemuda-pemuda yang optimis, teguh dalam pendirian dan konsisten dalam perkataan (QS.Al-Kahfi:13-14). Pemuda juga digambarkan sebagai sosok yang tidak kenal putus asa, pantang menyerah apalagi mundur sebelum mencapai cita-cita seperti diperankan pemuda (Nabi) Musa kepada muridnya (QS.Al-Kahfi:60).
Pemuda Lupa Amanah
Kalau kita kembali mengingat secara garis besar amanah Sumpah Pemuda, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang bernama Indonesia, tentu sudah terjadi kepunahan. Lahirnya kelompok-kelompok massa kepemudaan berbasis suku, justru menjadi pemicu perpecahan.
Tak jarang kita mendengar perang antar suku, bentrokan antar ormas yang pemicunya hanyalah perebutan daerah kekuasaan atau hal-hal yang dianggap sepele lainnya. Belum lagi bentrokan antar pelajar yang dari hari kehari terus menghiasi pemberitaan media. Sampai hal yang paling memalukan, bentrokan antar mahasiswa.
Sungguh ironis, ironis dikala mengingat sejarah yang ada delapan puluh tiga tahun silam. Pemuda dari berbagai suku dan etnis bersatu melawan penjajah demi mencapai kemerdekaan Indonesia. Para pemuda turun ke medan perang melawan penjajahan, baik dengan pemikiran mau pun dengan mengorbankan darahnya.
Dengan bergesernya perubahan masa dan waktu, lalu apa yang harus diperjuangan pemuda saat ini hingga dunia hancur punah?
Pemuda harus mempertahankan tanah air dan bangsa. Tak hanya mempertahankan dalam arti menjaga kedaulatan NKRI dengan tenaga dan darah melalui peperangan antar Negara, tetapi bersatu, berangkulan, bersama-sama meningkatkan perekonomian dan pendidikan, menjaga marwah bangsa juga termasuk dalam mempertahankan tanah air dan bangsa.
Betul bila dikatakan masih banyak kemiskinan di Indonesia, tapi apakah pemuda Indonesia harus ikutan merengek-rengek atas kemiskinan?
Tentu tidak, sebahagian pemuda Indonesia justru berperang melawan kemiskinan dan keterpurukan dunia pendidikan.
Sebagai contoh, 6 mahasiswa Universitas Indonesia yang kreatif coba mendirikan suatu yayasan yang diberi nama Nalacity Foundation. Enam mahasiswa yg terdiri Fiza, Yofita, Alfi Syah, Ari dan Fahry ini tergerak membantu para mantan penderita kusta. Para mantan penderita kusta, warga desa Tangerang, Banten itu dibantu dan diberdayakan dalam membuat dan memasarkan hasil karya mereka  yg berupa jilbab atau kerudung buat wanita muslim. Hingga kini karya para wanita penderita kusta itu sudah merambah hampir di seluruh wilayah indonesia karena dipasarkan melalui sistem online oleh Nalacity Foundation.
Kemudian ada lagi, mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta yang tergabung dalam gerakan Kammi Mengajar. Mereka mengajar dan memberi pendampingan kepada warga korban letusan gunung merapi cara mengolah dan memasarkan ikan lele dengan mengolahnya menjadi nuget lele, kripik lele dan abon lele. Dengan demikian para warga korban letusan gunung Merapi itu mendapatkan nilai lebih dari sekedra menjual ikan lele mentah.
Lalu ada juga pasangan muda Wahyu Aditya dan Arie Octaviani, pasangan suami istri ini benar-benar kreatif dan produktif. Mereka menggagas dan mendirikan Distro KDRI alias Kementrian Desain Republik Indonesia. KDRI ini membuat dan mengumpulkan hasil desain anak-anak muda Indonesia mengenai nasionalisme. Hasil karya itu bisa berupa kaos yg unik, komik dan animasi. Hingga kini KDRI menurut Adit, telah memiliki ribuan fans dan followers di seluruh dunia.
Dibidang pendidikan ada Eymus H Tabuni (26), sejak 4 tahun lalu ia memutuskan untuk memberikan pelatihan membaca dan menulis bagi warga kampung Milinik, Kelurahan Inikombe, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Eymus hanya menerima honor Rp 300 ribu dan beras 25 kilogram setiap 6 bulan. Keputusannya ini didasari keprihatinan tingginya angka buta aksara di wilayah itu. Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Budi Bakti, menjadi tempat Eymus mengabdi.
Eymus, lulusan Teknik Pertambangan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ), menjadi tutor mengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), paket A, B, dan C sejak PKBM tersebut baru berdiri. Mereka yang belajar di tempat sederhana ini terdiri dari anak-anak, dewasa, bahkan orang tua. Ada yang putus sekolah, ada pula yang belum pernah mengecap bangku sekolah.
Saat ini, peserta didik di PKBM Budi Bakti hampir mencapai 100 orang dan didominasi oleh para wanita yang berasal dari berbagai desa.
Eymus berharap, apa yang ia lakukan saat ini kelak berbuah manis. Harapannya sederhana: membuat warga di kampungnya lebih berwawasan, atau paling tidak menguasai baca tulis dan berhitung.
“Saya berharap kampung ini melek huruf, dan lima tahun ke depan mempunyai perubahan,” kata Eymus.
Kisah-kisah diatas hanya beberapa contoh dari apa yang telah dilakukan pemuda pemudi Indonesia dalam mempertahankan tanah air dan bangsanya. Bila pemuda Indonesia bersatu dan bersama-sama melakukan kreatifitas dan mengembangkannya, sudah barang tentu lambat laun kemiskinan di Negara kita akan terkikis tanpa mengharapkan uluran tangan.
Sumpah pemuda kini seharusnya, Pertama, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bersatu untuk mengembangkan perekonomian dengan kreatifitas dan mencintai produksi anak bangsa Indonesia.Kedua, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang bersatu mengembangkan pendidikan anak bangsa Indoneisa. Ketiga, Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung tinggi persaudaraan sesama bangsa untuk kemajuan Indonesia. Keempat, Kami Putra dan Putri Indonesia, berjanji tidak akan merengek-rengek atas kemiskinan untuk mendapatkan sesuatu yang instan demi marwah dan martabat bangsa Indonesia. ***
Sumber : kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2012. SAMBO KRITIS| Kembali ke Atas